Jas Almamater Kampus, Kebutuhan atau Sesuatu yang Diada-adakan?

Jas almamater kampus, bagi sebagian besar mahasiswa, adalah pemandangan yang lazim. Tergantung rapi di lemari, dikenakan dengan bangga saat acara-acara resmi, atau bahkan menjadi “seragam kebesaran” saat aksi demonstrasi. Namun, di tengah berbagai kebutuhan perkuliahan lainnya, muncul pertanyaan mendasar: apakah jas almamater benar-benar sebuah kebutuhan esensial bagi mahasiswa, ataukah sekadar tradisi yang “diada-adakan”?

Argumentasi Mendukung Jas Almamater Sebagai Kebutuhan:

Banyak pihak yang berpendapat bahwa jas almamater memiliki fungsi dan nilai yang menjadikannya lebih dari sekadar pakaian biasa:

  • Identitas dan Representasi: Jas almamater adalah simbol identitas yang kuat. Ia secara instan mengidentifikasi seorang individu sebagai mahasiswa dari institusi tertentu. Saat berada di luar kampus, jas ini menjadi representasi almamater, membawa serta nama baik dan reputasinya.
  • Membangun Solidaritas dan Rasa Kebersamaan: Mengenakan jas almamater yang sama menumbuhkan rasa persaudaraan dan kebersamaan di antara mahasiswa, terlepas dari perbedaan latar belakang atau program studi. Ia menciptakan identitas kolektif dan memperkuat rasa memiliki terhadap komunitas kampus.
  • Penanda Acara Resmi: Jas almamater seringkali menjadi pakaian wajib atau sangat dianjurkan dalam berbagai acara resmi kampus, seperti orientasi mahasiswa baru, seminar, konferensi, upacara wisuda, dan kegiatan protokoler lainnya. Kehadirannya memberikan kesan formal dan terorganisir.
  • Memudahkan Pengenalan dan Koordinasi: Dalam kegiatan-kegiatan kampus yang melibatkan banyak orang, seperti pengabdian masyarakat atau aksi sosial, jas almamater memudahkan identifikasi anggota dan koordinasi tim.
  • Kenang-kenangan dan Simbol Sejarah: Bagi para alumni, jas almamater memiliki nilai sentimental yang tinggi. Ia menjadi pengingat akan masa-masa kuliah, perjuangan akademis, persahabatan, dan berbagai pengalaman berharga di kampus.

Argumentasi yang Menyatakan Jas Almamater Bukanlah Kebutuhan Esensial:

Di sisi lain, ada pula pandangan yang mempertanyakan urgensi jas almamater sebagai kebutuhan mendasar bagi mahasiswa:

  • Biaya Tambahan: Pengadaan jas almamater memerlukan biaya, yang bagi sebagian mahasiswa, terutama yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, bisa menjadi beban tambahan di tengah biaya perkuliahan yang terus meningkat.
  • Fungsi yang Terbatas: Di luar acara-acara resmi, penggunaan jas almamater dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa seringkali terbatas. Banyak mahasiswa yang lebih memilih pakaian yang lebih kasual dan nyaman untuk kegiatan perkuliahan atau aktivitas lainnya.
  • Potensi Ketidaksetaraan: Kewajiban memiliki jas almamater dapat menciptakan ketidaksetaraan jika ada mahasiswa yang kesulitan secara finansial untuk membelinya. Hal ini dapat menimbulkan rasa minder atau eksklusi.
  • Identitas Bisa Dibangun dengan Cara Lain: Identitas dan rasa memiliki terhadap kampus dapat dibangun melalui berbagai cara lain, seperti partisipasi aktif dalam organisasi kemahasiswaan, keterlibatan dalam kegiatan akademik dan non-akademik, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kampus.
  • Prioritas Kebutuhan Lain: Bagi sebagian mahasiswa, terutama di masa-masa awal perkuliahan, dana yang ada mungkin lebih diprioritaskan untuk kebutuhan akademik yang lebih mendesak, seperti buku, peralatan kuliah, atau biaya hidup.

Menimbang Urgensi dan Konteks:

Melihat kedua sisi argumentasi, sulit untuk memberikan jawaban yang mutlak apakah jas almamater adalah kebutuhan atau sekadar sesuatu yang diada-adakan. Jawabannya cenderung bergantung pada konteks dan perspektif. Bagi pihak kampus, jas almamater mungkin dipandang sebagai kebutuhan untuk membangun citra institusi, memperkuat identitas mahasiswa, dan menciptakan kesan formal dalam acara-acara resmi. Bagi sebagian mahasiswa, terutama yang aktif dalam kegiatan kampus atau memiliki rasa bangga yang tinggi terhadap almamaternya, jas almamater bisa menjadi simbol penting dan kebanggaan. Namun, bagi mahasiswa dengan keterbatasan ekonomi atau yang merasa fungsinya kurang signifikan dalam kehidupan sehari-hari mereka, jas almamater mungkin terasa sebagai beban biaya tambahan yang kurang esensial.

Solusi dan Pertimbangan:

Untuk menjembatani perbedaan pandangan ini, beberapa hal dapat dipertimbangkan:

  • Kebijakan yang Inklusif: Kampus perlu mempertimbangkan kebijakan terkait pengadaan jas almamater agar tidak memberatkan mahasiswa dari segi biaya. Misalnya, dengan menawarkan opsi cicilan, subsidi bagi mahasiswa kurang mampu, atau penggunaan dana kemahasiswaan.
  • Sosialisasi yang Jelas: Pihak kampus perlu mengkomunikasikan secara jelas mengenai fungsi dan pentingnya jas almamater, serta kesempatan penggunaannya dalam berbagai kegiatan.
  • Kualitas dan Durabilitas: Jika jas almamater dianggap sebagai kebutuhan, maka kualitas dan durabilitasnya perlu diperhatikan agar dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
  • Fleksibilitas Penggunaan: Kampus dapat memberikan fleksibilitas dalam penggunaan jas almamater, tidak menjadikannya kewajiban mutlak di setiap kesempatan, namun tetap mendorong penggunaannya dalam momen-momen penting.

Jas almamater kampus berada di persimpangan antara kebutuhan simbolik dan potensi beban biaya. Meskipun memiliki peran penting dalam membangun identitas, solidaritas, dan representasi kampus, urgensinya sebagai kebutuhan esensial bagi setiap individu mahasiswa dapat diperdebatkan. Dengan kebijakan yang bijaksana, sosialisasi yang efektif, dan pertimbangan terhadap kondisi ekonomi mahasiswa, jas almamater dapat tetap menjadi simbol kebanggaan tanpa menjadi penghalang bagi akses pendidikan yang inklusif. Pada akhirnya, nilai sebuah jas almamater tidak hanya terletak pada materi dan warnanya, tetapi juga pada makna dan pengalaman yang menyertainya selama perjalanan menjadi seorang intelektual muda.

Leave a Reply